Rabu, 26 November 2008


PROBLEM SOLVING – BASED LEARNING:

Menuju Pembelajaran Pembebasan

Mutadi, S. Pd., M. Ed.

Pendahuluan

Tujuan terpenting dari pendidikan adalah membantu para siswa belajar bagaimana berfikir (learn how to think) secara produktif, dengan memadukan cara berfikir kreatif (creative thinking) dan cara berfikir kritis (critical thinking). Cara berfikir kreatif memfokuskan diri pada bagaimana seorang siswa menggeneralisasikan ide-ide, sementara cara berfikir kritis lebih menekankan diri pada mengevaluasi ide-ide yang ada. Menurut para praktisi pendidikan, kedua skenario cara berfikir yang cukup “liar” atau yang membebaskan tersebut disinyalir memiliki andil yang cukup besar dalam pengembangan bakat dan kreativitas anak. Namun, sayangnya sebagaimana yang dilontarkan oleh Dirlanudin (2006) bahwa kebanyakan sekolah atau madrasah (sekolah formal) justru sering menterlantarkan bakat dan kreativitas siswa. Sejauh mana sih pentingnya kreativitas pada diri manusia? Lebih jauh lagi Dirlanudin (2006) mengatakan bahwa kreativitas memungkinkan manusia mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Sikap dan prilaku kreatif perlu dipupuk sejak dini, agar anak didik kelak tidak hanya menjadi “konsumen” ilmu pengetahuan, tapi mampu menghasilkan pengetahuan baru, tidak hanya menjadi pencari kerja, tetapi mampu menciptakan pekerjaan baru.

Sejalan dengan pemikiran di atas, Hilmy Yahya dalam Konggres Magistra Utama Yogyakarta 2006 menambahkan bahwa berfikir kreatif adalah mendorong anak untuk memiliki keberanian berfikir di luar kotak kebiasaan (out of the box) yang dirangsang dengan non-routine problem untuk memunculkan non-routine way atau out of the box solution. Dimana kreativitas manusia mulai terbunuh? Rentang usia 5 sampai 22 tahun sebenarnya adalah rentang usia untuk menumbuhkan bakat kreativitas ini. Namun kenapa SDM kita sebagian besar kurang kreatif? Pada saat usia pengembangan usia tersebut di mana mereka beraktivitas? Pasti, jawabnya adalah sekolah atau madrasah. Lebih lanjut, Hilmy Yahya, mendorong audience sampai pada kesimpulan bahwa “sekolah atau madrasah inilah yang membunuh kreativitas anak.” Lebih jauh lagi, Alexander Sutherland Neil (2007), mengkritisi bahwa sebenarnya tidak ada anak yang bermasalah ( = tidak kreatif). Yang ada adalah para guru-guru dan sekolah-sekolah yang bermasalah atau tidak kreatif.

Sebagai contoh klasik atas ketidak kreatifan guru dan sekolah/madrasah adalah, hampir semua orang tahu dengan tokoh yang satu ini, Thomas Alva Edison. Tapi tahukah kamu bagaimana perjalanan sekolahnya? Ketika di bangko sekolah dasar, Edison dipandang oleh gurunya sebagai seorang siswa yang bodoh atau kalau tidak mau disebut sebagai seorang yang “idiot.” Ujungnya, diapun dikeluarkan dari bangko sekolah tersebut. Melihat kenyataan itu, akhirnya hanya sang ibulah yang mau menjadi “guru” buat si Edison. Ternyata dengan kesabaran dan perhatiannya yang tinggi, ia mampu membimbing dan menjadikan si “idiot” Edision menjadi seorang yang memiliki kreativitas tinggi dan super genius dengan temuannya yang mempesona dunia — listrik dan lampu listrik.

Dari kisah ini, ada pertanyaan yang mengganjal yang perlu kita lemparkan ke kancah para pendidik, yaitu: Siapakah sebenarnya yang “idiot” atau “kreatif”, guru di sekolahnya atau si Thomas Alva Edison itu sendiri?

Sementara apabila kita tilik model pembelajaran di banyak sekolah/madrasah, pembelajaran selama ini sebagaimana yang disinyalir oleh Griffith dan Clyne (1994, h. 17) cenderung dikembangkan melalui pola pembelajaran teori – contoh – latihan. Pola ini perlu ditinjau kembali sebab, pertama, sebagaimana yang dinyatakan oleh Groves (1989, h. 11) pembelajaran yang didasarkan pada “teori – contoh – latihan” hanya menyajikan suatu pandangan yang sempit tentang materi pembelajaran, dan tidak pernah menyarankan keterkaitan dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Model pembelajaran ini telah menyulap sebuah sekolah menjadi “penjara” yang tidak memberikan ruang untuk berkreasi dan bertukar pikiran (sharing idea) bagi siswanya. Kebahagiaan, kecerriaan atau kegairahan sesekali muncul ketika terdengar lonceng tanda istirahat atau pulang. Mungkinkah kebebasan berfikir yang kritis dan cerdas serta kreativitas akan bisa dilahirkan dari sekolah atau madrasah sejenis “penjara” atau “kamp perang” semacam ini? Pasti jawabnya: “mustahil.”

Alasan yang lain adalah, dari pandangan para orang-orang yang berada pada aliran constructivist ini, sebagaimana Burton (1992, h. 16) katakan bahwa proses belajar mengajar harus memungkinkan murid untuk mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri (construct their knowledge) melalui cara berfikir kreatif dan berfikir kritis yang didasarkan pada apa yang mereka telah ketahui sebelumnya (previous knowledge) dari pada hanya sekedar melalui cara penyampaian yang formal.

Untuk itu, artikel mencoba memfokuskan diri pada, pertama, pentingnya problem solvingbased learning sebagai alternatif untuk mengatasi persoalan pembelajaran yang kurang menekankan pada aspek berpikir kreatif dan kritis. Kedua, aspek-aspek dan faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam implementasi problem solving. Ketiga, analisa kesulitan yang mungkin dihadapi dan alternatif solusinya.

Problem Solving – Based Learning Sebuah Alternatif

Istilah problem solving ada pada berbagai profesi dan disiplin ilmu dan memiliki pengertian yang berbeda. Problem solving dalam pembelajaran (problem solving – based learning) memiliki arti yang khusus, yaitu suatu keahlian untuk memecahkan problem, baik non-routine problem maupun problem yang mencoba promote the higher of thinking level yang terkait dengan materi pembelajaran. Problem adalah suatu ketidakmampuan untuk menyelesaikan suatu masalah atau mencari solusi, padahal sadar dan tahu akan situasi itu dan berminat untuk memecahkannya (Branca, 1980, h. 3). Sementara Polya seorang ahli pendidikan yang terkenal (dikutip di: Presentasi Surya Institut) mendefinisikan problem solving sebagai suatu kegiatan untuk:

  1. Mencari tahu saat kita tidak tahu tentang suatu hal

  2. Mencari jalan keluar dari suatu kesulitan

  3. Mencari jalan untuk menghindari dari suatu hambatan

  4. Mencari tujuan yang kita inginkan, dimana pada awalnya tampaknya tujuan tersebut mustahil untuk terwujud.

Ada sejumlah alasan kuat mengapa problem solving- based learning perlu ditekankan sebagai aspek penting dan sangat berarti dalam proses pembelajaran yang efektif dan kreatif. Pertama adalah harapan untuk membuat materi pembelajaran lebih dapat diterapkan (more applicable) dalam kehidupan siswa divluar pengajaran kelas atau dalam situasi baru yang belum familiar (Pengelley, 1989, h. 10). Kedua adalah melatih dan membiasakan siswa untuk berani “thinking out of the box” (berpikir lain daripada yang lain). Ketiga, problem solving- based learning memberikan kesempatan (opportunities) dan dapat mendorong siswa berdiskusi dengan siswa yang lainnya, yaitu pada proses menemukan jawab dari permasalahan (Gervasoni, 1998, h. 23). Keempat mengapa pendekatan problem solving- based learning sangat berharga (valuable) adalah karena problem solving dapat mendorong murid untuk menyusun teorinya sendiri (their own theories) melalui berfikir kreatif dan berfikir kritisnya, mengujinya, menguji teori temannya, membuangnya jika teori tersebut tidak konsisten dan mencoba yang lainya (NCTM 1989: Dikutip di Taplin, 2001). Kelima, strategi problem solving- based learning lebih dapat mendorong serta menumbuhkan rasa keingintahuan pada diri siswa untuk menemukan jawab atas problem yang dihadapinya. Alasan lainnya adalah keahlian problem solving- based learning ini perlu dibiasakan pada diri siswa sebab kenyataan hidup manusia pada hakekatnya memerlukan keahlian ini untuk memecahkan secara cerdas serangkaian problem yang ia dihadapi.

Aspek-aspek yang perlu diperhatikan

Dalam upaya mengembangakan strategi problem solving- based learning, ada beberapa aspek yang perlu difikirkan. Sebagaimana Pengelly (1989, h. 2) menyatakan bahwa ketika mengembangkan keahlian problem solving- based learning, terutama dalam hal mendesain permasalahan, guru perlu memperhatikan latar belakang kemampuan siswa. Disamping itu, strategi problem solving- based learning perlu melakukan penyeleksian persoalan yang layak (appropiate) untuk siswanya. Permasalahan yang dipilih harus menantang (challenging), terbuka untuk berbagai cara penyelesaian (variety of method of solution) (Hodgson, 1989, h. 350).

Berkaitan dengan hal ini, Thompson (1989, h. 275) menyarankan bahwa perlu menyeimbangkan tingkat kesulitan. Jika problem terlalu sulit dan siswa tidak mampu memecahkan maka mereka mungkin akan menjadi putus asa (disillusioned) dan motivasinya menjadi melemah (waiver). Jika permasalahan yang dihadapi oleh murid terlalu mudah, menyebabkan mereka tidak tertantang dan sekali lagi mereka akan kehilangan motivasi. Sebagai tambahan, Schoenfeld (dikutip di Taplin, diakses: 5 Maret 2001) juga menyarankan bahwa permasalahan yang baik haruslah sebuah persoalan yang dapat diperluas untuk dieksplorasi dan digeneralisasikan.

Faktor-faktor Penting dalam problem solving- based learning

Dalam implementasi problem solving- based learning, bahwa ada sekurang-kurangnya tiga faktor penting yang harus difikirkan. Pertama, merubah peranan guru (changing the role of teacher). Kedua, merubah susunan kelas (changing classroom management) dan, ketiga, menganalisa topik dalam kurikulum yang mungkin dapat mengakomodasi dan lebih efektif jika menggunakan pendekatan problem solving- based learning ini.

Dalam hal merubah peran guru, perlu disadari bahwa strategi pembelajaran problem solving telah merubah gaya murid belajar (students’ style learning) dari sebagai murid pasif belajar menjadi murid yang aktif belajar (student active learning). Sebagai konsekuensi tentu menuntut berubahnya peran guru. Dalam hal berubahnya peran guru, Groves (1990, h. 11) menyatakan bahwa berubahnya peran guru adalah sesuatu yang sangat crusial. Di antaranya, guru perlu benar-benar terlibat dalam menstimulasi murid untuk aktif berfikir (stimulating children to think), menjaga semangat belajar siswa (maintaining interest), menjaga rasa percaya anak (confidence) dan mengelolanya (organizing) jika diperlukan. Lebih jauh lagi, Stacey and Groves (1985, h. 5) menambahkan bahwa peranan guru adalah:

  1. Membawa murid pada suasana siap menerima tantangan atau permasalahan, sebab sebuah masalah bukanlah masalah sampai murid menyadari dan ingin memecahkannya.

  2. Membangun atmosper kelas yang mendukung, dimana murid disiapkan untuk memecahkan permasalahan yang asing dan tidak merasa tertekan ketika mereka menghadapi kebuntuan (stuck).

  3. Mempersilahkan anak untuk mengikuti cara mereka dalam menemukan solusi dan membantu mereka ketika memerlukan, tanpa memberikan jawaban.

  4. Memberikan kesempatan pada siswa untuk “mempresentasikan” dan membandingkan solusi yang ia peroleh dan yang dikerjakan teman-temannya

Merubah susunan tempat duduk di kelas. Yang maksudkan di sini adalah bagaimana mengorganisasi murid sesuai dengan aktivitas yang ada pada problem solving. Berdasarkan pengalaman pada pengajaran di sekolah Indonesia, murid-murid di kebanyakan sekolah duduk secara berbaris (sit in a row) dan hal itu kemungkinan membuat sulit untuk siswa melakukan diskusi dengan teman yang lainnya, dalam mengeksplorasi gagasan dan konsep yang tersembunyi di balik (beyond) permasalahan yang diberikan — dan ini sering disebut sebagai salah satu karakteristik (key feature) dari problem solving —. Hodgson (1989, h. 350) menyarankan bahwa kelompok kerja (group work) adalah sesuatu yang esensi dalam problem solving- based learning. Lebih lanjut, Burns (1990, h. 25) menyatakan bahwa belajar bersama dalam group kecil (small group) memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dengan konsep dibanding dengan apabila murid diskusi kelas besar (class discussion). Keuntungan lain dari grup kecil ini, dintaranya murid memiliki kesempatan untuk bisa berbicara banyak, lebih nyaman untuk ambil resiko (taking the risks) dalam menguji coba pemikirannya selama aktivitas problem solving- based learning. Oleh karena itu, perlu merubah posisi tempat duduk siswa agar memungkinkan mereka aktif berpartisipasi dalam diskusi.

Kesulitan yang mungkin dihadapi

Beberapa kesulitan yang sangat berarti mungkin ditemukan ketika mengasimilasikan problem solving- based learning ke dalam praktek pembelajaran di kelas.

  1. Kurangnya pengetahuan dan keahlian guru dalam menerapkan problem solving- based learning (teachers lack of the problem solving skills). Hal ini bisa diatasi dengan cara upgrading melalui pelatihan-pelatihan khusus maupun kegiatan di KKG dan MGMP.

  2. Isi dari kurikulum sangat padat dan tidak ada celah untuk problem solving- based learning (the curriculum content is very full and there is no room for problem solving). Kekreatifan guru di sini sangat penting misalnya menganalisa materi-materi yang overlapping untuk disatukan dalam pembelajarannya, sehingga tersedia waktu untuk implementasi problem solving..

  3. Sistem pengujian (assessment system) masih disentralkan dan ini tidak relevan dengan gagasan pembelajaran problem solving dikarenakan jenis tesnya cenderung dan dominan berbentuk pilihan ganda (multiple choice form). Jenis tes ini tidak memberikan kesempatan pada anak untuk berfikir sebagaimana yang mereka lakukan pada proses problem solving- based learning.

  4. Besarnya jumlah siswa (the large number of students) dalam setiap kelas juga merupakan salah satu hambatan yang cukup berarti. Karena ini bisa menyebabkan sulitnya bagi guru untuk berinteraksi dengan muridnya ketika problem solving- based learning diimplementasikan.

  5. Perlu waktu yang lebih (need more time) baik dalam pencarian atau pendesainan problem (sebab setiap problem perlu disusun dengan hati-hati untuk mencapai hasil belajar siswa) maupun berlangsungnya aktivitas problem solving (problem solving progress) di kelas. Solusi persoalan waktu tidak beda jauh dengan permasalahan padatnya kurikulum, yaitu analisa materi-materi yang overlapping untuk disatukan dan menggunakan sisa waktunya. Mempercepat pembelajaran materi yang dipandang memiliki tingkat kompleksitas rendah dan kuarang esensial.

Dari uraian tersebut di atas, memang ada sejumlah kesulitan yang dihadapi dalam asimilasi problem solving- based learning ke dalam praktek pembelajaran namun keuntungan yang dicapai problem solving- based learning dalam memformat dan melahirkan siswa dengan kerangka pikir kreatif dan kritis jauh lebih besar dan penting dari permasalahan itu sendiri. Oleh karena itu, hadirnya problem solving- based learning diharapkan sebagai inovasi besar dalam pembelajaran, sebagai rasa keterpanggilan dan tanggung jawab guru untuk melahirkan generasi pemikir yang kreatif dan kritis yang pada ujungnya masyarakat Indonesia tidak lagi sebagai “second class people” orang kelas kedua dalam percaturan komunitas global. Namun bisa menjadi bagian masyarakat global yang memiliki kontribusi yang besar dan diperhitungkan. Tidak terlalu berlebihan jika kita bersama-sama menginstal guru kembali dengan software: ”what you want happen in this country please put it first into your classroom activities”, apa yang kamu inginkan terjadi pada negeri ini silahkan silahkan masukkan dulu pada aktivitas di kelasmu.

Kesimpulan

Dari diskusi tersebut di atas, dapat dirangkum bahwa problem solving- based learning memiliki sejumlah keuntungan (benefits) terutama dalam mencetak siswa untuk berfikir kreatif dan kritis. Strategi problem solving- based learning tidak hanya mampu mengubah gaya belajar anak dari belajar pasif menjadi belajar aktif dalam mengkonstruksi konsep mereka, tetapi juga, membuat pembelajaran lebih berarti (more meaningful), masuk akal (make sense), menantang dan menyenangkan (challenge and fun), cocok buat siswa (relevant for students), dan memberikan cara berfikir yang fleksibel (thinking flexibility). Karenanya problem solving- based learning dapat dipandang sebagai suatu pendekatan yang penting untuk meningkatkan pemahaman sekaligus kreativitas anak siswa yang selama ini “terpenjara” oleh sekolah atau madrasah yang tidak memiliki komitmen tinggi untuk melahirkan generasi yang kreatif di negeri Indonesia tercinta ini.

REFERENSI

Blane, D. and Evans, M. 1989, ‘V.C.E. Problem Solving and Modelling – Starting Points’, in B. Doig (ed.), Everyone Counts, The Mathematical Association of Victoria for Twenty-sixth Annual Conference, December 7th & 8th, 1989, pp. 367-371.

Branca, N. A., 1980, ‘Problem Solving as a Goal, Process, and Basic Skills’, in S. Krulik and R. E. Reys (eds.), Problem Solving in School Mathematics, National Council of Teachers of Mathematics, Virginia, pp. 3-8.

Burns, M. 1990, ‘The Math Solution’, in N. Davidson (Ed.), Cooperative Learning in mathematics: A Handbook for Teachers, Addison-Wesley, California, pp. 21-46.

Burton, L. 1992, ‘Working Together’, in Mathematics Teaching, 140, September 1992, pp. 16–19.

Dirjen Binbaga Depag RI, 1993, Garis-garis Besar Program Pengajaran MTs: Matematika (Cetakan pertama), Dirjen Binbaga Depag RI, Jakarta.

Dirlanudin, 2006, “Pengembangan Bakat Kreativitas Anak”, Pustekom, Jakarta.

Galbraith, P. L. and Haines, C. R. 1997, ‘Some Mathematical Characteristics of Students Entering Applied Mathematics Degree Courses’, in S. K. Houston, et al. (eds.), Teaching and Learning Mathematical Modelling: Innovation, Investigation and Application, Albions Publishing, Chichester, pp. 77–92.

Griffiths, R. and Clyne, M. 1994, Maths Makes Sense: Teaching and Learning in Context, Eleanor Curtain, Armadale.

Gervasoni, A. 1998, ‘Using Problem Solving to Enhance Numeracy Learning’, in Prime Number, 13(2), June 1998, pp. 21–23.

Groves, S. and Stacey, K. 1990, ‘Problem Solving – A Way of Linking Mathematics to Young Children’s Reality’, in Australian Journal of Early Childhood, 15(1), March 1990, pp. 5–11.

Groves, S. 1989, ‘Problem-solving and Modelling – Years 7 to 12’, in B. Doig (ed.), Everyone Counts, The Mathematical Association of Victoria for Twenty-sixth Annual Conference, December 7th & 8th, 1989, pp. 10–17.

Groves, S. 1999, ‘An Introduction to Mathematical Modelling’, in Deakin University, Problem Solving and Modelling: Study Guide, Faculty of Education, Geelong, pp. 33-47.

Hodgson, B. 1989, ‘Problem Solving and Modelling Activities for the V.C.E’, in B. Doig (ed.), Everyone Counts, The Mathematical Association of Victoria for Twenty-sixth Annual Conference, December 7th & 8th, 1989, pp. 350–357.

Lamon, S. J. 1997, ‘Mathematical Modelling and the Way the Mind Works’, in S. K. Houston, et al. (eds.), Teaching and Learning Mathematical Modelling: Innovation, Investigation and Application, Albions Publishing, Chichester, pp. 23–37.

Neil, A. S., 2007, “Summerhill School: Pendidikan Alternatif yang Membebaskan”, Serambi, Jakarta.

Pengelly, H. 1989, ‘Becoming Mathematical Problem Solvers’, in B. Doig (ed.), Everyone Counts, The Mathematical Association of Victoria for Twenty-sixth Annual Conference, December 7th & 8th, 1989, pp. 1-5.

Stacey, K. and Groves, S. 1985, Strategies for Problem Solving: Lesson Plans for Developing Mathematical Thinking, Latitude Publications, Glen Waverley-Victoria.

Surya Institut, 2006, Pelatihan Departemen Agama, Proyek Step 2 Depag RI, Bogor.

Taplin, M., 2001, ‘Mathematics Through Problem Solving’, available in:

http://www.mathgoodies.com/articles/problem_solving.shtm

Thompson, L. 1989, ‘Problem Solving’, in B. Doig (ed.), Everyone Counts, The Mathematical Association of Victoria for Twenty-sixth Annual Conference, December 7th & 8th, 1989, pp. 275– 84.

Selasa, 25 November 2008

Buku yang mengasyikkan


Tajamnya daya saing jagad perbukuan, menuntut penulis sekaligus penerbit cakap menyajikan buku agar menggiurkan serta menyolok mata. Buku yang menarik (eye catching) langsung dikerubuti pembeli buku ditiap-tiap book store.


Buku-buku yang tampak kaku, misalnya buku ajar, terancam ditinggalkan oleh pembeli. Buku ajar, kini perlu gesit berbenah strategi agar buku itu tak tampil “garang” lagi. Mengosmetika buku ajar secantik mungkin dan memiliki daya menyala.


Buku ajar, kerap kita temui di sekolah-sekolah ataupun di perguruan tinggi. Buku tersebut sengaja ditulis khusus menjadi pedoman siswa dan mahasiswa. Buku ajar dihadirkan bertujuan mempermudah proses belajar-mengajar guru pada siswa, atau dosen terhadap mahasiswanya. Tak ayal, buku ajar yang awalnya diharap mampu membantu proses belajar-mengajar, malah dijauhi oleh pembaca. Tentu, hal ini tak luput dari karakter lazim buku ajar —meliputi pewajahan buku dan artistik buku serta isi buku— yang tak lentur.


Seturut Joseph Brodsky, “Membakar buku sebuah kejahatan, tetapi ada yang lebih jahat dibanding membakar buku, yakni tidak membaca buku.” Untuk ihwal buku ajar, pendapat Brodsky belumlah tentu tepat. Tak semua orang malas membaca buku teridentifikasi jahat. Beragam alasan manusia memilih enggan membaca buku ajar, salah satunya dikarenakan buku tersebut tidak memiliki daya magnet ketertarikan sehingga sukar membangkitkan selera pembaca membacanya.


Berdasar pengalaman pribadi, saya pun merasa malas berkunjung ke toko buku merogoh kocek sendiri membeli buku-buku ajar anjuran dosen. Tapi apa boleh buat, jika tak membeli buku itu dosen pun enggan memberi nilai A pada mahasiswanya. Padahal, perkara beli buku ajar atau tidak, bagi saya, itu tergantung pada menarik tidaknya kemasan buku itu. Buku ajar, sungguh membuat saya tutup mata membacanya. Melotot judul bukunya saja terbayang kalau buku ajar itu berat, tak mudah dicerna. Ditambah dengan gaya bahasa tulis yang linear tak dikemas populer yang kering sisipan cerita-cerita inspiring.


Hakikatnya, membaca bukanlah amal mengerutkan kening. Demi mewujudkan buku ajar yang menyenangkan, mudah, serta asyik dibaca, Depag (Departemen Agama) RI mengadakan lomba membuat “Buku Pelajaran yang Mencerdaskan”. Buku yang mencerdaskan tersebut khusus diperlombakan yang ditujukan kepada siswa Madrasah Aliyah (MA). Sebuah langkah terobosan baru kategori buku ajar agar siswa betah berjam-jam saat membacanya.


Prof Yohanes Surya, Ph D —juri lomba penulisan buku ajar bidang fisika—, saat diwawancara di Tabloid Republika “Dialog Jum’at” (01/02/2008) mengenai lomba yang diselenggarakan Depag RI itu, ia pun merespon baik. “Buku pelajaran yang mencerdaskan ialah buku yang dapat membuat anak-anak belajar jadi asyik, mudah, dan menyenangkan. Sehingga belajar tidak lagi menjadi sangat sulit. Contoh saja fisika, ketika orang mengatakan fisika maka yang terbayang di kepala mereka adalah rumus. Hal ini yang seharusnya kita ubah.”


Sebagai ilmuwan pakar fisika, Prof Yahanes Surya pun paparkan cara penyusunan buku-buku fisika agar tak melulu memuat rumus. Ia menitik pentingkan ulasan ilmu fisika bukan tergantung pada rumus, melainkan konsep. Karena itu, peran rumus dapat diganti dengan logika. Ia mencontohkan: “misal ada suatu benda dengan kecepatan lima meter per detik. Berapa jaraknya dalam lima detik. Untuk menjawab ini, cukup dengan logika. Lima meter per detik berarti dalam satu detik benda tersebut bergerak sejauh lima meter. Kalau lima detik, tinggal dikali saja dengan lima. Tidak perlu rumus apapun.”


Menulis buku tak segampang yang diterka oleh banyak orang, utamanya buku ajar. Orang sukses menulis buku hingga meraup keuntungan besar, mesti dibarengi dengan proses membaca yang sangat meletihkan. Namun, sepelik apapun persoalan bila ditangani serius segera temukan penyelesaian.


Tilik misalkan pada tahun 1962, sebuah buku yang berjudul Silent Spring (Musim Semi yang Sunyi) berhasil mengguncang dunia. Dalam waktu singkat buku itu laku 500.000 eksemplar. Sedangkan penulisnya, Rachel Carson ditentang oleh para industri pestisida. Mengapa? Sebab buku itu melukiskan betapa sunyi bumi ini bila semua unggas dan serangga mati akibat disemprotkannya racun di lahan-lahan pertanian. Masyarakat tergugah. Tetapi pabrik-pabrik insektisida, pestisida, serta racun-racun lainnya marah. Beribu dolar dihabiskan guna melancarkan kampanye bahwa, Rachel Carson keliru. Penulis itu dianggap orang histeris yang dungu. Tapi hasilnya, ia malah mendapat berbagai macam hadiah. Kini kita mengenal Rachel Carson sebagai pahlawan yang menyulut maraknya gerakan pelestarian lingkungan.

Buku ajar tak hanya memberikan kebijaksanaan, tapi juga mendorong dilakukannya kebajikan. Dalam perbuatan baik inilah termuat keterampilan, kemampuan dan kemauan untuk melakukan tindakan nyata. Buku ajar tentang laut dan gunung, membuat pembacanya tergerak untuk menyatakan cintanya pada alam. Buku pelajaran ekonomi menolong pembacanya mempraktikkan sistem manajemen, kesadaran akan pentingnya pembiayaan dan pertumbuhan. Termasuk juga untuk buku budi-pekerti, pelajaran agama, petunjuk olahraga, memasak, dan ilmu komputer. Idealnya, buku ajar mampu meletakkan pembacanya ditengah konstelasi dan konfigurasi dunia yang terus menerus berubah.

Sumber:


BUKU PELAJARAN YANG MENGASYIKAN

Oleh : Zaim Uchrowi


Tahun 1975. Itu hari-hari pertama di bangku SMA. ''Cuma'' lulus dari madrasah tsanawiyah di kota kecil Magetan membuat perasaan gamang. Pelajaran eksakta di madrasah pinggiran itu jauh dari memadai. Mampukah lulusannya ''selamat'' di sekolah yang menampung para lulusan terbaik SMP itu? Mampukah mencerna pelajaran matematika, fisika, dan kimia di situ sedangkan landasan logika sederhana yang diajarkan lewat Aljabar yang sangat terbatas?

Kegamangan, atau mungkin malah fobia, pada eksakta itu segera berbuah. Hasil ulangan pertama matematika jeblok, nilai kimia juga mengkhawatirkan. Namun, hasil ulangan fisika terselamatkan. Kuncinya adalah sebuah buku lama dari awal 1960-an yang terwariskan dari kakak-kakak. Buku itu karya Widagdo. Wujud fisiknya sudah mulai menguning.

Cara menulisnya sederhana. Ilustrasinya sederhana pula. Namun, dengan cara sederhananya Widagdo justru mampu membuat fisika menjadi pelajaran yang menarik. Widagdo berhasil membuat fisika terasa dekat dengan siswa. Itu yang semestinya. Sebab, fenomena fisika memang fenomena di sekitar manusia. Soal panas, cahaya, gerak, dan sebagainya.

Tetapi, keasyikan bersama buku Widagdo itu tidak lama. Entah mengapa, negara kemudian menggusur buku itu, menggantikannya dengan buku baru. Enerji, Gelombang, dan Medan. Sebuah buku fisika yang dianggap lebih modern karena banyak menggunakan rumus matematis ketimbang langsung berpijak pada realitas empiris. Buku ini tidak mengajak siswa mengenali lingkungannya. Buku itu lebih mengajak untuk mengotak-atik otak. Seolah itulah pendekatan yang lebih ilmiah dibanding yang berbasis realitas atau kenyataan sekitar secara langsung. Fisika menjadi begitu ''sulit'', abstrak, dan sama sekali tidak menyasyikkan.

Kecenderungan begini ternyata terjadi pada hampir setiap disiplin ilmu. Kebenaran yang diambil dari realitas di lapangan tidak lagi dipandang ilmiah oleh pemegang otoritas keilmuan di negeri ini. Itu terjadi mulai dari disiplin ilmu ekonomi hingga psikologi. Ilmu punya logika sendiri. Tak boleh ''dicemari'' dengan realitas empiris. Filsafat, yang katanya adalah ilmu mencari kebenaran, pun lebih merupakan hasil olah pikiran. Bukan hasil pemahaman terhadap kenyataan. Akibatnya, ilmu menjadi begitu berjarak dari keseharian siswa.

Pendekatan demikian berimplikasi pada buku. Buku bukan lagi medium yang menyenangkan untuk memenuhi rasa ingin tahu. Buku pelajaran justru beban. Sebuah keadaan yang kita semua tak pedulikan. Bahkan, bagi kita yang bergelut di dunia pendidikan. Apalagi bagi kebanyakan penerbit dan pedagang buku. Buku pelajaran tak lebih dari komoditas pemberi keuntungan.

Buku-buku pelajaran akan menjadi produk yang serupa: Tanpa jiwa. Siapa pun penulisnya, sekuat apa pun kecintaannya dan penguasannya pada ilmu. Iklim demikian tak akan pernah melahirkan penulis buku pelajaran yang benar-benar berkarakter, seperti Widagdo. Padahal, karakterlah yang memiliki nilai mendidik.

Terabaikannya madrasah selama ini justru membuka kekeliruan mendasar itu. Tanpa beban, Menteri Agama mengakui pendidikan madrasah tertinggal. Terutama di bidang eksakta. Maka dibuatlah terobosan: Science and Technology Equity Program (STEP). Fase kedua program ini berhasil melahirkan buku-buku pelajaran eksakta berbeda. Buku yang bukan produk mekanistis, melainkan berjiwa.

Nama-nama seperti Mutadi, Mohammad Ishaq, Agung Nugroho, Irwan Nugraha, apalagi duet sahabat Pipit Pitriana dan Diah Rahmatia pun mengemuka. Mereka bukan penulis buku pelajaran copy-paste yang melahirkan buku sebagai komoditas. Mereka menulis dengan hati yang melahirkan buku pelajaran yang mengasyikkan sebagaimana buku Widagdo sebelum tahun 1975.

Republika pernah menulis panjang soal buku-buku itu. Namun, menyimak secara langsung buku itu telah membangkitkan keyakinan: Era baru buku pelajaran bakal segera tiba. Bukan hanya bagi dunia madrasah. Namun, semoga juga bagi dunia pendidikan secara luas. Dunia yang saat ini masih terkungkung oleh cara pandang kognitif yang linier dan mekanistis.

Sumber: DIALOG JUM'AT REPUBLIKA 1 Februari 2008


Mutadi Juara I Lomba Buku Ajar Nasional

SEMARANG - Satu lagi prestasi tingkat nasional di bidang pendidikan diraih wakil dari Jateng. Dia adalah Mutadi SPd MEd yang menyabet Juara I Lomba Buku Ajar Tingkat Nasional Kategori Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Hotel Grasia, Senin (30/1) - Selasa (31/1).

Tak hanya itu, Mutadi bersama rekannya, Suyadi SAg dari MIN Wonoketingal, juga menduduki juara II lomba tersebut untuk kategori madrasah ibtidaiyah (MI).

Kemenangan Mutadi, guru MA Al Irsyad Gajah, Demak itu diraih setelah melalui presentasi dan tanya jawab dengan dewan juri yang terdiri atas tujuh personel terkait dengan buku Matematika yang dia susun. Alumnus Deakin University Australia itu dapat menyingkirkan 28 peserta lain pada lomba yang diselenggarakan Direktorat Mapenda Departemen Agama RI bekerja sama dengan Lembaga Studi Islam dan Sosial (LSIS) Semarang.

Menurut keterangan dia, salah satu poin utama yang membuat dua buku ajarnya menjadi juara adalah buku tersebut memiliki nuansa berbeda dari para pesaingnya. Selain itu, lanjut dia, isi buku karyanya juga menyarankan perlunya cooperative learning serta menekankan perlunya kemampuan mengomunikasikan gagasan pada diri setiap siswa. Karena itulah, buku tersebut dinilai dewan juri layak dalam menemani pengembangan kurikulum berbasis kompetensi seperti saat ini.

Kasubdit Kurikulum Mapenda Depag RI Drs Zubaidi MEd berharap, mulai saat ini hendaknya ilmu tidak hanya berada di otak para guru tetapi juga ide itu perlu dikelola untuk dituangkan menjadi sebuah buku. ''Sebab, buku akan memiliki nilai manfaat yang jauh lebih luas daripada ilmu itu hanya berada di otak kita,'' tandasnya.

Bahkan, lanjut dia, saat sang penulis sudah tak ada pun, buku tersebut masih terus akan memberikan manfaat dalam peradaban manusia beratus-ratus dan bahkan beribu-ribu tahun.

Jumlah peserta lomba keseluruhan tingkat MI, MTs, dan MA masing-masing 17, 28, dan 18 peserta. Selanjutnya, juara II dan III kategori MTs diraih Jauhar Mukholis SAg dari MTsN Bantul Yogyakarta dan Amiroh Ambarwati dari MTsN 1 Semarang. (sjs-56j)


Sumber: SUARA MERDEKA, Rabu 1 Februari 2006

Lomba Pidato Bahasa Jawa



Hj Tarmudji Juara Lomba Pidato Bahasa Jawa

SEMARANG - Dharma Wanita Persatuan Kelompok Balai Diklat Keagamaan Semarang mengadakan lomba pidato bahasa Jawa. Acara itu digelar bersamaan dengan penyembelihan hewan kurban di kantor Balai Diklat Keagamaan Jl Temugiring, Srondol, Senin (1/1).

Menurut Ny Gaya Yusuf Hidayat, kegiatan itu digelar dalam rangka perayaan Hari Ibu 2006, Idul Adha 1427 H, Tahun Baru 2007, sekaligus Hari Amal Bhakti Depag. Lomba yang baru kali pertama digelar itu diikuti 10 peserta, yang berasal dari anggota Dharma Wanita setempat. Hasilnya, terpilih juara I-III adalah Hj Tarmudji, Ny Slamet dan Ny Muniroh.

Dalam sambutannya, Kepala Balai Diklat Keagamaan Drs H Yusuf Hidayat menyampaikan, lomba itu merupakan bentuk dukungan terhadap kebijakan Gubernur Mardiyanto, yang telah mencanangkan pembelajaran bahasa Jawa dari jenjang SD hingga SMA/SMK.

''Bahkan nantinya dalam waktu yang tidak lama lagi, seluruh pengawai dan siswa di lingkungan Jawa Tengah setiap Kamis diwajibkan berbahasa Jawa,'' kata Yusuf, yang juga Ketua Presidium Korps Alumni HMI (KAHMI) Jateng. (H9-18)


Sumber: SUARA MERDEKA 03 jANUARI 2007


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Bridal Dresses. Powered by Blogger